SEJENGKAL AKSI PEREMPUAN DEMI LINGKUNGAN
Oleh : Baasitha Nurindah
Jika kamu mendidik laki-laki, kamu hanya mendidik satu orang. Tapi jika kamu mendidik perempuan maka kamu mendidik satu generasi. Tentu kalimat itu sangat familiar di telinga kita. Perempuan sangat berperan dalam mengindahkan peradaban. Dengan fungsi diri sebagai anak, istri, ibu, nenek, dan lainnya menjadikan perempuan sebagai pemeran utama ditengah keinginan mewujudkan kemajuan bersama. Berharganya posisi perempuan pada peningkatan kualitas bangsa diharapkan menciptakan keuntungan, bukan sebaliknya. Oleh karena itu butuh adanya pencerdasan kepada para perempuan agar bisa mencipta laba bukan lara. Kita bisa mulai meninjaunya dari kehidupan perempuan itu sendiri. Setiap bulan perempuan mengalami fase menstruasi atau haid, dimana fenomena darah kotor keluar dari lubang vagina. Tidak perlu ditanya sakitnya, karena memang setiap orang berbeda. Kita fokus saja pada apa yang dilakukan ketika periodenya datang.
Dalam menangani fenomena bulanan ini, para perempuan diharuskan menampung darah atau menyumbat tempat keluarnya darah agar tidak mengotori tempat yang didatangi, pun mengganggu aktivitas keseharian. Pada umumnya, perempuan akan menggunakan pembalut sekali pakai yang telah menjadi solusi dari waktu yang telah lampau. Namun, dewasa ini terdapat banyak referensi untuk solusi menstruasi. Selain pembalut sekali pakai, terdapat pembalut kain, menstrual cup, tampon, menstrual sponge, dan menstrual panties. Tentu dengan nama yang berbeda akan menciptakan bentuk fisik dan prosedur penggunaan yang berbeda pula.
Dimulai dari pembalut sekali pakai yang paling familiar di masyarakat. Pembalut sekali pakai sangat mudah digunakan, cukup dengan menempelkan dibagian tengah celana dalam. Kelebihan pembalut tipe ini selain mudah dibawa kemanapun, juga sangat ekonomis dan mudah ditemukan dibanding alat penampung darah lainnya. Sedangkan kekurangan dari pembalut sekali pakai ini adalah bahannya yang mengandung plastic, dioksin, pestisida, pemutih, dll. Beralih ke pembalut kain. Ditinjau dari bentuknya, pembalut kain sama persis dengan pembalut sekali pakai, hanya saja terbuat dari bahan kain lembut yang nyaman untuk daerah kewanitaan. Kekurangannya pembalut kain ini yaitu: belum banyak yang menjual, tersedia dengan harga yang sedikit mahal, tidak praktis dibawa kemanapun karena setelah dicuci harus segera dijemur agar bahan tidak rusak dan berjamur. Berbeda dengan pembalut kain ataupun sekali pakai, terdapat tampon sebagai salah satu pilihan untuk menampung darah haid.
Tampon ada yang berbahan dasar kain rayon ataupun kain katun, ada juga yang berbahan dasar sama seperti pembalut sekali pakai. Tampon berbentuk silinder dengan panjang sekitar 3-5cm, memiliki tali diujung sebagai penarik setelah digunakan. Kelebihannya dia memiliki ukuran yang kecil nan praktis, dan sudah familiar di pasaran. Cara penggunaannya cukup memasukkan tampon ke dalam lubang vagina dan menariknya keluar jika dirasa tampon sudah menyerap banyak. Namun untuk perempuan yang belum pernah berhubungan seksual, tidak disarankan karena menyebabkan robeknya selaput dara. Selain itu, bahaya dari tampon adalah apabila tali tampon terputus, maka akan sulit dikeluarkan sehingga harus dilakukan tindakan medis. Serupa tapi tak sama, terdapat menstrual sponge yang memiliki cara penggunaan serupa dengan memasukkannya ke dalam lubang vagina. Perbedaan antara menstrual sponge dengan tampon cukup banyak, yaitu perbedaan bentuk, bahan dasar, ketiadaan tali, dan keberadaannya. Di Indonesia, masih sangat jarang perempuan yang menggunakan menstrual sponge sehingga distribusi di pasar pun tidak marak. Kekurangan menstrual sponge juga sama, kemungkinan tertiggal didalam vagina lebih besar karena memang tidak tersedia tali diluarnya. Beralih kepada menstrual cup, penggunaannya juga dengan memasukkan ke dalam vagina. Bentuk menstrual cup yaitu corong segitiga dan berbahan plastic elastis. Yang terakhir adalah menstrual panties atau celana dalam khusus menstruasi. Alat ini yang paling praktis dan ramah lingkungan, hanya saja penyebarannya belum banyak dan harga yang ditawarkan relative tinggi.
Dari berbagai referensi yang ada, dapat dilihat pilihan yang paling sering digunakan oleh para perempuan, yakni pembalut sekali pakai. Dengan segala kelebihan dan kemudahannya, ternyata pembalut sekali pakai memiliki efek samping yang luar biasa buruk bagi lingkungan dan kesehatan kewanitaan itu sendiri. Pada pembalut wanita, terdapat bahan-bahan yang membahayakan, diantaranya: (1) Dioksin, sebagai penyerap darah dan pemutih kapas dapat menyebabkan kanker; (2) Klorin, sebagai pemutih kapas; (3) Aseton, digunakan pada pembersih cat kuku; (4) Klorotan, pemutih Styrofoam; (5) Klorometana, digunakan pada pemurnian minyak bumi; (6) Stirena. Digunakan pada ban mobil; (7) Pestisida dan Herbisida, terdapat didalam katun; (8) Ftalat, sebagai penghalus pembalut. Kabar buruknya lagi, satu pembalut setara dengan empat buah kantung plastik yang mana sangat sulit diurai yaitu sekitar 500-800 tahun. Rata-rata perempuan menggunakan lebih dari 16.000 pembalut selama hidupnya, maka dapat dibayangkan betapa banyak sampah pembalut sekali pakai dalam setahunnya dikali jumlah perempuan di Indonesia. Hal yang lebih mengenaskan lagi adalah sikap perempuan yang acuh terhadap sampah pembalut yang ia miliki, karena masih sangat jarang perempuan yang menggunakan alat penampung darah lainnya yang bisa dipakai berkali-kali (menstrual cup, pembalut kain, menstrual penties). Sikap acuh perempuan pada ‘tanggungjawabnya’ dapat dilihat pada Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Petugas kebersihan setiap harinya menerima sampah yang 20% berisi sampah pembalut sekali pakai, yang mana pada pembalut tersebut masih terdapat darah yang belum dibersihkan, hal ini pastinya sangat mengganggu petugas dalam segi kesehatan maupun estetika. Sampah pembalut sekali pakai tentu menyebabkan kerusakan lingkungan daratan yang mana tidak dapat terurai. Perempuan yang bertempat tinggal di dekat sungai juga mengaku biasa membuang sampah pembalut langsung ke sungai tanpa dicuci terlebih dahulu, hal ini juga merusak lingkungan air yang akan berujung ke lautan dan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem laut. Pembuangan pembalut sekali pakai ke sungai akan mempengaruhi jumlah populasi ikan mandul dan berkelamin ganda, bahkan jika dalam jumlah besar maka bisa berujung kepada kepunahan. Selain itu, untuk sebagian perempuan akan membuang sampah pembalut dengan membakarnya. Disatu sisi memang tidak merugikan orang lain, namun merugikan banyak orang dengan polusi udara beracun yang dihasilkan dari pembakaran pembalut tersebut.
Dengan adanya kenyataan dampak yang ditimbulkan oleh pembalut sekali pakai, maka Saya yakin kita semua setuju untuk berhenti dalam penggunaannya dan mengganti kepada alat alternative lain yang reusable. Lalu bagaimana caranya? Cara paling sederhana yang terpikirkan adalah dengan adanya penyuluhan. Tetapi kepada siapa? Kepada para perempuan yang ada di sekolah asrama atau boarding school. Mengapa demikian? Dilansir dari Cendana News, sejak tahun 2008 hingga 2018 di Yogyakarta mengalami peningkatan jumlah peminat boarding school. Salah satunya adalah pondok pesantren modern yang mengalami kenaikan sampai 800 siswa. Pembangunan gedung boarding school baru maupun cabang marak terjadi dimana-mana, yang menjadi salah satu pertanda bahwa peminat boarding school semakin bertambah dari hari ke hari. Selain itu, boarding school menjadi jawaban dalam penyuluhan ini karena memiliki massa yang banyak dengan system yang terpusat. Pada boarding school sendiri terdapat nilai-nilai yang ditanamkan seperti ketarunaan, kemandirian, kepekaan, kebersamaan, dan lain sebagainya. Hal ini memudahkan kita melakukan penyuluhan terkait sampah pembalut sekali pakai kepada para siswa di sekolah asrama.
Menurut Saya hal ini sangat mungkin untuk dilakukan, apalagi dengan membawa slogan membentuk menusia berkualitas dengan cinta alam untuk kehidupan berkelanjutan, karena memang itu yang menjadi tujuan dari sekolah asrama dilansir dari laman salah satu boarding school terbaik di Indonesia. Penyuluhan bisa dimulai dari kepala yayasan, guru-guru dan pembina asrama. Berdasarkan buku cetakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018, kepala yayasan, tenaga pendidikan dan Pembina asrama lah yang memiliki peran super penting dalam pengelolaan sekolah berasrama. Terkhususnya Pembina asrama yang bersinggung langsung dengan siswa selama hamper 24 jam per 7 hari harus mendapatkan konsep ilmu yang jelas dan semangat yang tinggi guna mewujudkan minimalisasi angka sampah pembalut sekali pakai. Dengan banyaknya orang yang ada didalam boarding school, mereka saling mempengaruhi dan ‘memperlihatkan’, sehingga ini bisa menjadi kesempatan emas untuk mencerdaskan informasi tentang penjagaan lingkungan. Seperti pada salah satu asrama mahasiswi di Yogyakarta, terdapat satu orang yang memahami konsep penjagaan lingkungan dan ia memutuskan untuk membeli satu pack pembalut kain, maka seminggu kemudian hampir seluruh teman asramanya mengikuti jejaknya. Tentu dalam hal ini, pembalut kain akan menjadi pilihan utama karena harga yang lebih terjangkau untuk seorang siswa dan mahasiswa daripada menstrual panties. Diawal mereka semua adaptasi dengan ‘alat bantu’ yang baru, namun lama kelamaan mereka bisa nyaman menggunakan pembalut kain. Semua hal baru memang hanya butuh pembiasaan, dan mennurut perspektif psikologi kita hanya butuh kurang lebih 66 hari untuk dapat terbiasa dengan segala yang baru. Durasi itu sangat singkat dibandingkan waktu mereka berada di sekolah asrama. Setelah mereka terbiasa dengan pembalut kain, mereka pasti akan tetap mempraktekkannya selama pulang ke rumah satu semester sekali. Rekomendasi kebaikan dari satu mulut ke mulut lain akan terus menyebar ke segala penjuru, sama halnya dengan kepakan sayap kupu-kupu di Brazil mengakibatkan sebuah tornado di Texas. Lagipula untuk menjaga bumi, Indonesia tidak pernah kekurangan orang cerdas, mereka hanya sedikit malas. Untuk menjaga bumi, Indonesia tidak pernah kekurangan orang baik, mereka hanya tidak bergerak. Maka, ayo bergerak walau tak begitu Nampak, tapi semoga berdampak.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Reza. (2021). Perkembangan Boarding School di Indonesia Dari Dulu Hingga Sekarang. https://www.smadwiwarna.sch.id/perkembangan-boarding-school-di-indonesia/ diakses pada 13 Juli 2021 Pukul 08.15 WIB.
KEMENDIKBUD. (2018). PENGELOLAAN SEKOLAH BERASRAMA. Jakarta: Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kusmargana, Jatmika. (2018). Minat Sekolah ke Boarding School Meningkat. https://www.cendananews.com/2018/07/minat-sekolah-ke-boarding-school-meningkat.html. Diakses pada 13 Juli 2021 Pukul 07.50 WIB.
Nunu Nurfiraus & Risnawati. (2019). STUDI TENTANG PEMBENTUKAN
KEBIASAAN DAN PERILAKU SOSIAL SISWA. Jurnal Lensa Pendas, 4 (1)
Puspita, N. f. s. (2019). Pengaruh Sampah Pembalut Terhadap Lingkungan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/2as7m
Rizkiani, Anisa. (2012). PENGARUH SISTEM BOARDING SCHOOL TERHADAP
PEMbENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK. Jurnal Pendidikan Universitas
Garut, 6 (1)
Sasetyaningsih, Dwi. (2018). 3 Alasan Berhenti Menggunakan Pembalut Sekali Pakai. https://sustaination.id/stop-menggunakan-pembalut-sekali-pakai/. Diakses pada 13 Juli 2021 15.00 WIB.
Wibawa, Shierine. (2018). Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Mengubah Kebiasaan? https://sains.kompas.com/read/2018/06/12/203600823/berapa-lama-waktu-yang-dibutuhkan-untuk-mengubah-kebiasaan-?page=all. Diakses pada 14 Juli 2021 Pukul 20.00 WIB.
Narasi Naskah
Sungguh langkah kecil yang sering terkucil lebih baik daripada tidak berjalan sama sekali. Sungguh aksi tipis yang tak pernah habis lebih berharga daripada diam tanpa kata. Mari terus mengambil peran menjaga lingkungan, dengan tanggung jawab sebagai perempuan dan sebuah solusi peradaban.
0 Comments